Dua minggu lagi, awal semester genap di mulai. Namun ini
tidak berarti bagiku, dan juga bagi mahasiswa tingkat veteran lainnya. Every
single day is like holiday. Hanya saja, aku menghabiskan masa-masa ‘holiday’ di
kantor media online, tempatku bekerja.
Entah apa yang
mendorongku untuk pergi ke kampus. Mungkin, Ibu dan Ayah sudah mendesakku untuk
mengikuti prosesi wisuda. “Ibu ingin lihat kamu pakai toga, nduk,” kata Ibu suatu hari. Hmm, aku
tidak bisa menolak perintah Ibuku, dengan wajahnya yang sudah mulai keriput,
namun masih kuat untuk tersenyum.
Aku mengenakan kemeja hijau tosca dengan renda di bagian
dada dan rok span selutut bewarna hitam. Aku tidak pernah pakai high heels atau
stiletto untuk pergi ke kantor. Ribet. Apalagi aku harus bolak-balik
meja-pantry-tempat fotokopi dan beberapa ruangan lain disana. Aku lebih nyaman
memakai flat shoes. Namun, aku selalu sedia sepatu tinggi di jok motor, untuk
jaga-jaga bila ada Safari Tim Marketing dadakan ke kantor-kantor ataupun calon
klien.
Setelah selesai mengurus administrasi dan beberapa syarat
untuk menjadi calon wisudawati, aku berpikir untuk langsung menuju ke kantor.
Belum sempat menemukan sepeda motorku di tampat parkir, aku bertemu Ami. Dia
sahabat seperjuanganku. Dia temanku di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan
organisasi jurnalis di kampus.
“Hai, Miiii.” Aku histeris melihatnya. Aku menduga Ami juga
kaget melihat kehadiranku di parkiran kampus. Kami berpelukan. “Gimana, Bekasi
udah pindah planet?” aku selalu suka bercanda dengan dia.
“Kampret lo! Habis makek
kamar kos gue selama 2 hari ngilang¸ sekarang
pas uda seneng, bahagia, gak pernah ngunjungi kos gue! Sialan lo!” Ami mengusap
rambutku dengan kasar, hingga rambut yang sudah aku tata sejak pagi berantakan.
“Apaan sih lo, nyet? Gue uda nyetrika nih rambut sejak
Shubuh. Masa iya gue ke kantor dengan dandanan kayak Mak Lampir gini?” Aku
mengelus-elus rambutku.
“Uda kerja lo? Gimana ceritanya? Bagi cerita dong. Kak
Satria sehat?” Dia menghantamku dengan pertanyaan-pertanyaan. Maklum, sudah lama
tidak bertemu.
**
Ami dan aku membuat janji untuk bertemu pada saat jam makan
siang. Akhirnya, kami makan di warung Ketroprak Jakarta di dekat kantorku.
“Gimana dengan kak Satria?”
Aku hanya tersenyum.
“Gak gitu, Lol. Gue penasaran aja perkembangan kalian. Jalan
berapa taun lo sama doi?” Ami meneruskan pertanyaan dengan mulut belepotan
bumbu kacang.
“Mmmm, hampir 2 tahun sih….”, aku mencoba mengingat kejadian
pertama kali aku bertemu kak Satria.
“Ohia, Lol, gue udah dilamar sama Abang, tapi masih kita
berdua aja yang tau. Resminya minggu depan, lo datang ya? Akomodasi ke Bekasi
gue yang tanggung deh.”
“Mmmm…”
“Gue buat surat izin deh ke kantor lo, sekalian gue bilangin
ke bos lo. Haha”
Aku tidak menanggapi kalimat-kalimat Ami. Entah siapa yang
memberi arahan, air mata telah membasahi pipi chubbyku.
“Eh, Lol. Lo kenapa?”, tak banyak bicara, Ami lari ke meja
kasir untuk membayar pesanan kami dan mengantarkanku ke dalam mobilnya.
Aku hanya menangis. Perasaanku saat itu campur aduk. Senang,
Ami akhirnya bertemu pangeran berkuda putih versinya. Sedih, iri, marah entah
kepada siapa.
Ami hanya memelukku di jok belakang mobil. “Gue iri sama lo,
Mi,” tanpa sadar dan diperintah, kalimat itu meluncur dari mulutku.
“Gue juga pengen bahagia kayak lo, dilamar sama pangeran
kuda putih versi kita sendiri, saling suka sama, saling cinta. Apa gue gak
behak bahagia, Mi?”, tangisanku semakin meledak.
“Cup.. cup.. cup. Ngapain sih lo pengen jadi kayak gue? Lo
punya segalanya, Lol. Lo cantik, uda keja, habis ini juga wisuda, lo punya
sahabat dan orang-orang yang segan dan ngehormatin lo.
Udahlah, cup cup,” Ami
mengelus pundak dan rambutku, aku terisak di lengan kirinya.
“Lo merasa dipermainkan sama kak Satria? Bilang dong ke
orangnya, jangan dipendam terus. Gue yakin, kak Satria pasti sehati sama lo,
kok,” lanjut Ami.
“Gue.. takutnya kalo bilang ke dia, dia malah jadi insecure
and leave me alone, gue gak siap, Mi,” akuku dengan mata yang masih penuh dengan air
mata.
Selama ini, atau selama aku hidup, aku jarang cerita masalah
hati kepada siapapun. Bahkan Ayah dan Ibu selalu melihatku dengan keadaaan
bahagia, begitu juga orang- orang di kantor. Tak ada yang tahu soal dibalik
senyumku. Aku ingin melihat orang yang aku sayangi tidak larut sedih jika
melihat aku sedih, aku hanya ingin melihat senyum mengembang di wajah mereka.
Ami mungkin menyadari dan mulai peka, hanya dia tempatku
bercerita tentang semuanya. Dan dalam waktu dekat, dia akan menjadi istri
orang, yang memungkinkan waktu untukku akan semakin sedikit.
“Gini, meski bentar lagi gue jadi bini orang, gue selalu ada
buat lo. Telpon, BBM, atau apapun itu. Gue sebisa mungkin akan fast response.
Okay, darl? Look at you! Lo mau kembali ke kantor dengan dandanan seperti ini?
Chin up, girl!”
Aku membersihkan muka dan mulai
menata rambut. “Thanks ya, Mi. Lo emang terbaik,” kami berpelukan.
“Yok gue anter ke kantor. Uda
lega kan nangisnya? Gue mau lihat Lolli yang ceria.” Ami tersenyum. Rambutnya
tergulung rapi di balik kulit wajahnya yang putih.
From the outside, I seem happy a
lot. But, I’m human and it’s not possible to always be happy – Park Bom, member
2NE1
Setelah pamitan dengan Ami, aku
langsung masuk ke dalam kantor. Untungnya, beberapa karyawan belum kembali dari
jam istirahat. Syukurlah, ucapku
dalam hati. Setidaknya, tidak ada yang menyadari bahwa ada tanda bekas menangis
di raut wajahku.
Aku kembali membuka laptop dan
mengerjakan apa yang sehausnya aku kerjakan. Sambil terngiang omongan dari Ami,
apa aku emang harus jujur ke kak Satria?
“Hei, Lolli, are you okay?”, mas
Andre membuyakan lamunanku.
“Haiiii....,” kataku canggung.
“Pulang liputan? Emmm, aku ke musholla dulu mas, belum dhuhuran,” aku langsung
meninggalkan mas Andre.
**
Well, kalo emang jujur bisa bikin
bahagia dan bebas beban, mengapa tidak dilakukan aja?