Hari ini, suasana di kantor tampak sibuk. Mulai dari tim
marketing, tim publisher dan tim redaksi, semua sibuk dengan deadline
masing-masing.
Aku tak mau ambil pusing, sesibuk-sibuknya aku di tim
marketing, aku harus meluangkan sedikit waktu untuk menyeduh teh di pantry.
Hmm, aroma teh celup memang menggoda.
Aku mahasiswa Ilmu Komunikasi tingkat akhir. Mungkin sudah
bukan tingkat akhir, namun tingkat para veteran. Terlalu tua untuk dikatakan
mahasiswa S1 dikampus. Di jurusan ini, aku mengambil kosentrasi Jurnalistik.
Dengan bakat menulis dan sedikit bakat stalking (wartawan harus banyak bertanya
dan kepo), aku magang menjadi wartawan di salah satu media online di Kota
Malang. Namun ketika 6 bulan berjalan, aku harus merelakan pekerjaan
kesayanganku demi skripsiku.
Satu semester berlalu, kini aku sudah dinyatakan lulus oleh
pihak kampus. Namun, aku enggan mendaftarkan diri sebagai wisudawan. Aku
berniat bahwa sebelum lulus, aku harus mendapatkan pekerjaan.
Well, here I am. Kembali ke kantor lama, tetapi dengan
sedikit perubahan. Aku ingin belajar menjadi tim marketing di sebuah media.
Bagaimana harus menawarkan media dengan para pengiklan, membuat event media,
bekerja sama dalam bentuk adventorial, dan masih banyak lagi yang bisa
dipelajari di tim marketing, agar media tetap hidup.
Seketika, lamunanku dibuyarkan oleh Pak Yuli. Beliau staff
manger di tim marketing juga, namun kedudukannya lebih senior disbanding aku.
“Sudah cetak proposal?”
“Sudah, Pak!”
“Hari ini kita akan ada kunjungan ke Bulog dan Perum Jasa
Tirta. Semoga mereka mau beriklan disini. Lumayanlah, hasilnya bisa buat biaya
nikah,” Pak Yuli dengan wajah dan bentuk tubuhnya yang bundar mulai mengedipkan
mata. AKu tahu kalimat barusan ditujukan kepadaku.
“Ah, Pak Yuli ih! Jomblo nih,” aku menaggapi kalimat Pak
Yuli.
“Jomblo? Tuh, si Janson juga jomblo. Haha. Aku tak balik ke depan. Siap-siap berangkat
ya?”
“…”
Janson, ahli IT dari tim Publisher. Dia juga admin di
beberapa sosial media kantor. Dia berbadan kurus, berkulit putih dan
berkacamata. Dia turunan Manado-Cina. Gak kebayangkan kulitnya putih dan
mulusnya kayak gimana?
Aku emang berteman baik dengan Janson sejak aku berstatus
wartawan magang. Ya, mungkin karena kami seumuran. Namun dari semua itu, Janson
lebih cocok jadi penjaga toko kelontong di Pecinan daripada jadi ahli IT.
Aku kembali ke mejaku. Aku menatap layar komputer ketika ada
seorang pria yang juga menatap ku dari balik layar komputer ini.
“Weeee, ada apa ini?” kataku kepadanya.
“Sore free gak?”
“Free, mas. Kantor juga tutup kali kalo uda sore. Iya kalo
kamu, wartawan yang harus siaga 24 jam, kayak satpam. Haha”
“Hmm, dulu kamu juga jadi wartawan.”
“Haha, to the point deh. Ada apaan sih?”
“Ngopi yuk?”
“I don’t drink coffe.”
“So, is it tea time?”
“Okay. Aku ikut safari tim marketing dulu. Mungkin jam 4
sore sudah balik kantor. So…”
“So what?”
“Kamu gak liputan, mas?”
“Sudah, sekarang tinggal bikin berita aja. Kebanyakan
features sih, timeless lah. Bisa santai sedikit.”
“Okee…”, jawabku canggung.
“Mmm, okee. See you at 4.” Dia berbalik badan dan menuju
ruang ketik untuk menyelesaikan beritanya.
**
Angga, salah satu wartawan yang bisa dibilang dekat
denganku. Kami sering BBMan atau bertukar informasi. Tak jarang dia memberikan
ucapan ‘selamat pagi’ kepadaku. Well, aku anggap ini bentuk kepedulian terhadap
teman. Iya, teman. Aku masih belum menganggapnya sebagai The Special One.
Masih ada satu nama tertulis di hatiku. Satria Astra Ardhi.
Bertukar pikiran dengan mas Angga juga menjadi favoritku di kala penat pekerjaan. Dia mempunyai jokes yang lucu, tetapi banyak juga yang garing. Namun, meski seperti itu, aku tetap tertawa. Terpancing suara ketawanya yang lucu dan unik. Kami mempunyai hobi yang sama, membaca buku. Selera musik kita juga hampir sama, seperti Arctic Monkeys, Oasis, The Script, Rocket to The Moon dan masih banyak lagi. Di bidang perfilman, mas Angga juga selalu up to date dan tak jarang dia menculikku dari balik meja kantor menuju ruang ketik untuk menonton film streaming.
“Jadi… Kamu pecinta teh, Lolli?"
"Bisa dibilang begitu," aku menjawab sekenanya
"Mmm, udah punya kekasih?"
"Apaan sih, mas? Mau ngeleddek kalo jomblo?" Mataku terbelak. Apa maksudnya mas Angga bertanya seperti itu?
"Apa kamu seorang pemilih?"
Aku terdiam, tak biasanya mas Angga bicara serius seperti ini.
"Ya, aku melihat. Kamu cantik, berpotensi, supel, selalu ceria, dan sepertinya kamu akrab dengan semua orang di kantor. Bahkan CEOpun suka bercanda dengan kamu. Pak Yuli yang jarang ngobrol dengan orang juga bisa terlihat akrab denganmu," ucap mas Angga panjang.
"Hmm, terimakasih pujiannya, Tapi aku ga sebagus semua yang kamu sebutin, mas."
"Tetapi aku melihat, gadis seperti kamu pasti dengan mudah dapat kekasih."
Aku tertawa. "Ada ada jaja deh, mas."
"Serius aku," mas Angga meminum teh tariknya. "Apa kamu seorang pemilih?"
Honey Lemon Tea hangat yang ada di tanganku berubah jadi dingin. Mungkin hawa kafe ini, atau memang hatiku terlalu dingin. Aku memang dingin, hatiku egois, aku bertahan pada pilihan, aku mengikuti apa kata hati dan perasaanku. Aku sungguh dingin.
"Aku bukan pemilih, mas. Lebih tepatnya penunggu," tenggorokanku terasa kering dan tersendat. Sedikit, aku meminum teh 'dingin'ku.
Ekspresi mas Angga berubah. Kini, ia diam menatap kosong cangkir tehnya.
"Lolli, kamu tau. Aku iri...."
"Iri? Bersyukurlah akan hidupmu, mas."
"Always. but now. I don't know..."
"Iri terhadap apa?" Kini, mata kami bertemu. Alisnya tebal, namun rapi. Matanya seperti mata masyarakat Indonesia pada umumnya, hitam, bulat dan meneduhkan. Kumis dan jenggot tipis menghiasi area mulutnya. Aku terpatung. So awkward.
"Aku iri, sama orang yang sedang kamu tunggu."
Sejam berada di kafe, terjebak dengan mas Angga, rasanya seperti beratus tahun. Setelah pengakuannya sore ini, kami menghabiskan waktu sampai magrib hanya berdiam, saling tatap, menunduk lagi, hingga teh di masing-masing kelas kami habis.
Sebelum aku menuju motor bebekku, mas Angga berkata "Ku harap kamu masih menyapaku besok di kantor."
Aku memukul manja lengannya. "Belikan aku lollipop dulu dong, maaas"
Mas Angga tersenyum kecil. Tanpa ampun dia menarik hidungku sampai merah. Bravo.
**
Maaf, mas. Hatiku dingin, sudah terutup untuk satu nama.
Ini memang menyiksa. Apa mas Angga yakin bisa membebaskan aku?