Aku bangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Mentari
belum menampakkan diri. Segera aku berwudhu dan sholat Shubuh.
Ku lakukan kebiasaanku di pagi hari. Menghirup udara shubuh
di depan halaman rumah. Embun membasahi tanaman-tanaman milik Ibu di
perkarangan rumah, kebasahan oleh embun menandakan seakan mereka siap untuk
menerima terik mentari hari ini.
Keberuntungan ada padaku pagi ini. Aku bisa menyaksikan embun
menjalankan tugasnya. Entah mengapa, aku senang dengan suasana pagi hari,
menghirup aroma pagi,membasahi tangan dengan embun-embun …
Sambil melihat beberapa Ibu penyayang keluarga yang hendak
pergi belanja di abang tukang sayur keliling. Atau para pasukan kuning dengan
sapu tingginya, membersihkan dan mengambil sampah-sampah.
Jika mentari sedikit menampakkan rautnya, pedagang bakpau
hangat dan bubur ayampun juga mengais rezeki di pagi hari.Aku suka melihat
adegan ini. Seakan Tuhan, Sang Maha Sutradara telah membuat skenario ini begitu
apik.
Sabtu yang menenangkan. Pagi ini sedikit mendung dengan
sedikit pancaran sinar matahari. Untuk memulai hari, aku meminum segelas teh
hangat dan membaca pemberitaan di ponselku. Sembari menyapa tetangga yang lewat
di depan rumah.
It’s a long weekend, untuk pekerja kantoran seperti aku.
Sabtu dan Minggu libur, ditambah Senin dalam rangka Tahun Baru Imlek. Sesuatu
seperti ini tidak bisa dibeli.
**
3 jam setelah itu, sekira pukul 9 pagi, kak Satria datang
mengunjungiku. Memang sudah lama sekali, kak Satria tidak pernah kunjung ke
rumah. Setelah sarapan, kami menuju Kota Batu.
“Ada apa disana?” tanyaku ketika kak Satria memanaskan mesin
mobil.
“There are many people, town square, mall …”
“No, I mean why we go there?”
“Cause I want”
And now I must follow
your want like a fool? Ucapku dalam hati. Aku masuk dan duduk di jok
sebelah sopir. Tanpa membantah perkataannya dan aku terus diam.
Semenjak kejadian bersama sahabatku, Ami, kemarin siang, aku
jadi lebih sedikit berpikir menggunakan logika, jika sedang bersama kak Satria.
Ami bilang kalau aku harus jujur dengan perasaanku kepada kak Satria. Karena sudah lama aku menjalin perasaan dengannya, di bawah payung besar bertuliskan 'TEMAN'.
Sekarang, aku semacam bonekanya. Menuruti apa yang dia inginkan, menunggu jika dia
sibuk kerja, selalu di dekatnya ketika sakit dan susah, berusaha agar aku harus
selalu ada untuknya, baik itu offline maupun online. I’m always taking.
But. I still love him, like a dumb!
“Aku ingin piknik. There’s camera and the guitar,” ucap kak
Satria tiba-tiba.
“So?”
“Aku punya refrensi tempat bagus di Kota Batu, dan aku ingin
kamu jadi modelnya disitu. Bosen dengan foto landscape.”
“Everything that you want, bro.”
Dalam perjalanan, kami bernyanyi, saling cerita tentang
apapun, kecuali hubungan kami. Iya, kami pasti akan merasa canggung ketika
mengangkat tema ini.
|
dok.pribadi |
“Coba nyanyikan aku sebuah lagu,” usulku saat kami sedang
istirahat di sebuah gazebo salah satu taman kota.
“Oke. Ehhmm. Ehhm…,” kak Satria mengambil kuda-kuda
“When I see your face
There’s not anything
that I would change
Cause you’re amazing
Just the way you are…”
“Yeeee, suka suka. Lagi dong. Lagu Korea gitu.”
“Ebuset dah… Haha,” lagi, kak Satria mengusap-usap rambutku.
“Ada satu lagi nih… Cek cekk…
“There’s somebody out
there who’s looking for you
Someday he’ll find you
I swear that it’s true
He’s gonna kiss you
and you’ll feel the world still stand….”
“Somebody out there who will…” Aku dan kak Satria bersama
mengucapkan lirik lagu itu.
“Suka banget sama lagu itu, pil? Siapa? Rocket to The Moon yah?” tanya kak Satria.
“Iya. Sejak dengar lagu ini, for the first time, aku langsung
suka, dari liriknya, nadanya, semua sinkron dengan sempurna,” aku menjawab
dengan datar.
“Are you waiting for someone?”
“I don’t know, tapi aku percaya bahwa ada masanya Pangeran
Kuda Putih akan datang padaku,” kataku sambil menahan ketawa
“Dasar, Upil Kering!! Mimpi siang bolong gini.”
Tiba-tiba, kak Satria memainkan nada di gitarnya lagi. Entah
sekarang dia akan menyanyikan lagu apa.
“Saat aku menjadi nada dasar B, maka lengkapi aku dengan
pentatonic scale dari do E, agar kita menjadi rangkaian nada yang tidak
sumbang.”
Kak Satria menatapku. God damn!! I hate his staring. Tatapan
yang selalu bikin aku melupakan daratan. Wajahnya semakin dekat, tetap dengan
tatapan itu.
“Yes, we are best friend, we are a good tones,” aku
mengambil kalimat ini sambil mengangkat tanganku membentuk hi-five, untuk
menghilangkan kecanggungan di antara kami.
Am I wrong? Kita emang
‘teman’ kan?
Melihat ini, kak Satria langsung bereaksi dan membalas
tossku.
“Cari mie ayam yuk?”
“Oke, kak!”
**
Bagiku, kak Satria bagaikan embun. Dia selalu ada setiap
pagiku. Dia selalu mengucapkan mantera di pagi hari ketika aku mengecek
ponselku.
Dia seperti embun, ada karena akibat dari suatu perbuatan
sebelumnya.
Atau, dia memang embun, indah dipandang di pagi hari, bisa
dirasakan dalam skala kecil, tak bisa dinikmati sampai lama.