“Kak,
tolong cari adiknya. Mama telpon di sekolah katanya semua murid sudah pulang.”
Terdengar
suara Mama begitu panik. Semua orang di rumah sedang khawatir dan gelisah,
kecuali Papa. Karena memang beliau sedang bekerja saat kejadian itu terjadi.
Membalas omongan Mama tadi, aku hanya mengangguk, tanda mengerti dan siap
melaksana apa yang dikatakan.
“Nanti
kalau sudah ketemu adiknya, jangan dimarahin ya, kak? Kasihan dia”
Aku
hanya mengganguk lagi.
Entah
mengapa Mama berkata seperti itu. Mungkn dia sudah mengetahui seluk-beluk sifat
ku yang mudah marah. Sebenarnya aku tidak ingin naik pitam, hanya saja dengan
cara seperti itu aku bisa lega dan ada kepuasan tersendiri. Mungkin, ini hanya
alasan yang aku buat. Mungkin.
Dengan
kecepatan 70 km/jam, aku mengendari motor gedhe ku ke jalanan. Ngebut kencang,
menggok sana-sini, meliuk seperti ular, demi mencari adik semata wayang ku,
yang dari sore jam menjelang magrib belum pulang dari sekolahnya.
Dipikiran
ku, kala itu, hanya kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan terjadi pada Fia,
adik perempuanku, yang lucu, yang selalu aku anggap masi bayi dan yang selalu
bikin ulah di rumah. Tetapi, meski ia berlaku seperti itu, dia tetap adik
perempuanku.
“Apa dia diculik? Apa mungkin tersesat? Apa
mungkin dia bermain bersama teman-teman nya lalu… Ah sudahlah”
Terlalu buruk
untuk diteruskan. Aku kembali focus ke jalanan. Sekitar 20 menit dari rumah,
aku sampai di depan sekolahnya Fia. Sekolah Menengah Pertama Negeri yang bukan
Sekolah Internasional. Aku memasuki gerbang dan bertanya pada satpam, dan Pak
Satpam bilang bahwa sudah tidak ada kegiatan siswa sejak Ashar tadi.
Hatiku
semakin kemelut. Kemana perginya adik ku ini? Aku terus bertanaya dalam diri.
Dan jika diruntut dari awal, ini adalah salah ku. Seharusnya memnag sudah
jadwal ku untuk menjemputnya pukul 3 sore. Akan tetapi karena suatu hal yang
tidak gampang di hilangkan semua manusia – malas - , maka aku tidak
menjemputnya dan berpikir bahwa dia bisa naik angkutan umum untuk pulang. Kalau
dibiarkan dijemput setiap hari akan menumbuh lebatkan sifat manjanya.
Ya,
itu adalah pikiran ku beberapa jam yang lalu. Aku menyesal, tetapi apa daya
waktu tidak bisa diulang. Aku menyusuri jalanan dan tempat main yang biasa
dikunjungi oleh Adik ku. Hasilnya, NIHIL. Aku mulai merasakan ada yang salah
dengan mataku, panas, seperti ada sesuatu yang akan keluar. Begitu juga di hati
ini. Sesak dan nyeri. Tak berapa lama aku menitikkan air mata. Tidak bisa
membayangkan apa yang terjadi pada Fia naninya dan beta aku sungguh menyesal
tidak menjemputnya tepat waktu.
Langit
sudah muali gelap. Lampu-lampu kota pinggir jalan pun mulai menunaian tugasnya.
Pukul 6 sore, aku melirik jam tangan yang ada di sebelah kiri. Pikiran ku sudah
tak jernih dan mungkin tidak bisa berpikir dengan masuk di akal. Apa yang harus
ku katakana pada Mama dan Papa? Fia kamu kemana sih? Awas yah kalau sampai
ketemu! Aku mengumpat dalam hati.
Mencari
Fia berkeliling kota sedikit membuat ku letih dan ingin istirahat. Aku membeli
sebuah soft drink di toko dekat sebuah pondok kecil, yang hanya berjarak 20
meter-an. Daerah ini tidak terlalu jauh dari sekolah Fia. Setelah membuat motor
ku aman, aku membuka soft drink dan hendak duduk di pondok kecil yang terbuat
dari kayu itu. Disinari cahaya yang sedikit, aku mulai menyipitkan mata.
Melihat siapa yang sedang duduk di depan pondok itu.
FIA!
Sontak
aku berlari dan berteriak memanggil namanya. Aku ingin memastikan apa dia gadis
yang selama beberapa jam ini merepotkan ku.
“Kak
Andre?”
Aku
tidak berkata apa-apa, aku langsung memeluknya dan dia memelukku. Ku rasakan
dingin tangan nya dan muka nya sedikit pucat. Setelah beberapa detik
berpelukan, aku menjitak kepalanya dengan kesal.
“
Auw!!!”
“Kamu
ini kemana saja sih? Kakak dan Mama khawatir sama kamu. Kalo mau main itu
bilang dong!!!”, aku mulai marah
“Siapa
yang main? Orang Fia daritadi sore nungguin kak Andre jemput, yah sekalian aja
main ke pondok kayu ini.”
Mendengar
perkataan Fia, aku mulai menyadari jika tak sepenuhnya Fia salah, aku juga
bersalah karena keegoisan ku. Tanpa lama lagi, aku mengajak dia pulang dan hari
itu, ditutup dengan perkatan Fia : “Makasih kak Andre, Fia sayang Kakak”. Lalu
dia menyandarkan kepala di bahu kiri ku, tanda dia sudah lelah seharian
menjalani aktivitasnya.
Dan
meskipun di sering berbuat onar, dan aku sering tak acuh dengan semua cerita
tidak pentingnya, aku tetap sayang adik kecil ku. Mungkin hanya dia, gadis yang
mau berbagi kisah dengan ku.