“Stasiun,
lek…”
Begitu kira-kira ucap
ku kepada sopir angkutan umum pagi itu. Pagi sejuk dengan angin semilir dari
balik jendela angkot kala itu. Masih terlalu pagi bagi para manusia siang.
Sekitar pukul 6 pagi waktu bagian barat, keadaan Kota Malang terlihat lengang
walau sudah ada beberapa kendaraan melintasi jalanan minggu pagi.
“Mau
kemana mbak? Pagi-pagi kok ke stasiun?”
“Mau
ke Surabaya, pak. Mengadu nasib”
Jawab ku asal kepada
sopir. Bohong? Mungkin jawaban ku ada benar nya sedikit walau persepsi tentang
“mengadu nasib” antara aku dan sopir jelas berbeda. Sopir mengira aku akan ke
Surabaya melamar pekerjaan menjadi karyawan apapun dan tinggal happily ever
after disana, sedangkan menurut ku adalah mencari celah kebahagiaan di antara
sempit nya dunia.
Tak terasa lamunan ku
mengantarkan ku ke Stasiun Kota Malang lebih cepat. Segera aku masuk untuk
check-in karena 10 menit kereta akan datang, mengantarkan langkah kaki, menuju
kenyataan baru yang sebentar lagi akan mengubah sebagian hidup berkelanjutan
ku.
Keadaan menenangkan di
stasiun membuatku larut dalam suasan hati. Kosong namun tak sepi. Berangkat
pagi ke Surabaya memang pilihan ku, agar aku menghindari beberapa penasehat dan
“Mario Teguh” dadakan dari orang sekitar. Aku sudah eneg dan bosan dengan
kata-kata bijak mereka. Bahkan mereka tidak mendengar masalah dari pandangan
ku. Mereka hanya menjejali ku dengan nasehat, himbauan dan apapun itu namanya,
aku sudah ingin muntah mendengarnya. Ya sudahlah, toh mereka masih sayang
dengan aku dengan tetap peduli dengan perasaan ku.
Tepat 6.30 pagi, Kereta
Dhoho Penataran jurusan Malang – Surabaya berangkat dengan gagahnya. Menatap
lurus menuju jalan setapak besi dibalik kendali seorang masinis, aku berada di
gerbong 5 untuk menunggu sampai Stasiun Surabaya Kota. Aku melihat keadaan
kereta ini. Bersih, nyaman dan sejuk, membuat pikiran ku dingin untuk
memikirkan masalah ku yang cukup pelik ini. Tanpa ada gangguan pedagang asongan
yang hilir mudik, aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas slempang ku. Ku keluarkan
itu dengan perlahan karena ini juga merupakan salah satu kunci untuk memasuki
sebuah acara yang akan mengubah hidup ku dan beberapa orang yang terlibat dalam
acara itu.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrnH_fVYhOOf2cY80TCOglOCjzaglDxYgLPG_srdFbi3ewtPwRDVmKzY7u6KSrk4bQeU_ki9op1n4_D_uZa8QqmmT7TGkWcLooZ2p1Y_zSILYEy2JUhCquqNfTMz82STvWVJUE92QIiTc/s1600/_MG_0514.JPG)
Tak berpikir negatif, tapi
tak bisa. Aku memejamkan mata. Membayangkan apa yang terjadi jika aku memasuki
acara itu. Mimpi buruk, kata ku dalam hati. Aku menatap keluar jendela. Aku tak
tahu ini sudah masuk daerah mana. Yang terlihat hanya pematang sawah hijau,
kemiringan beberapa petak lahan dan burung bertebangan bebas tanpa ada menghiraukan
adanya ular besi panjang ini melintas.
Ku lihat keadaan
sekitar. Dalam satu gerbong pagi itu, hanya ada sekitar sepuluh orang. Termasuk
dalam keadaan sepi. Beberapa menit ada yang hilir mudi menuju kamar mandi yang
terletak di ujung gerbong, ada juga yang memilih berdiri di bawah “Dilarang
Merokok”. Entah apakah orang itu sudah bosan duduk atau apa.
Tanpa disadari, aku
tertidur pulas di dalam kereta itu. Sesaat aku terbangun karena ada panggilan
masuk di layar ponsel ku. Aku tidak ingin menjawab telepon, karena sudah bisa
ditebak, mungkin dari Mam, Pap, atau mungkin beberapa dari mereka untuk
mencegahku datang ke Surabaya. Really don’t care. Ternyata aku sudah sampai di
Stasiun Sidoarjo. Sebentar lagi juga turun, batinku. Aku mulai merapikan baju yang
berantakan. Lalu mengeluarkan alat pengisi daya baterai dan menancapkan nya di
bawah meja kecil. Karena HP ku harus bertahan sampai sore nanti.
Sesampai di Stasiun
Surabaya Kota, aku sarapan di warung depan. Mengisi energi untuk persiapan
acara nanti . Tak payah naik angkotan kota lagi atau mencari taksi untuk sampai
ke tujuan berikutnya. Acara yang aku maksud daritadi dilaksanakan di sebuah
hotel megah, tak seberapa jauh dari stasiun.
Menengok ke sisi kanan,
keadaan panas Surabaya tak membuat warga nya berhenti beraktivitas. Suara
klakson mobil yg tak sabar ingin mendahului, motor-motor yang menikung tajam
kanan-kiri walau dengan sedikit celah, pengamen jalanan dengan alat musik
seadanya menghiasi jalanan kota ini.
Sepuluh menit terlarut
dalam lamunan. Aku sampai di depan hotel yang dimaksud. Tanpa ragu aku memasuki
hall dan menunjukkan sesuatu dari dalam tas. Tak lain adalah undangan yang juga
berfungsi sebagai alat absen untuk acara itu. Seperti halnya adat Jawa, aku
menulis nama di daftar tamu dan memasukkan amplop
di celengan besar.
Jantung ku berdebar,
seperti mau terkena serangan. Kaki ku lemas, seperti sudah hilang tulang. Air
mata ku berteriak ingin keluar dari ujung mata. Aku berlari ke sudut bangunan.
Aku tak peduli, berapa banyak pasang yang melihatku….menangis. Hati ini tak
kuasa melihat sepasang anak manusia berdiri, berdekatan, bersalaman, tersenyum
bahagia karena menjadi Raja dan Ratu sehari.
“Are
you okay?”, tanya seorang pemuda mengenakan pakaian
adat Jawa, sambil memberikan saputangan kepada ku.
“Better”,
ucapku
sambil mengelap pipi ku yang basah. “Thanks!”
“Sudah
siap dengan liputan nya. Pak Tarko menunggu”
“…”
Tarko Wijaya, adalah
direktur dari perusahaan media Koran tempat aku bekerja. Putra semata wayang
nya, Yogi Purnama Wijaya, yang tak lain adalah pewaris tunggal, yang tak lain
juga adalah mantan pacar seorang wartawan lepas ini, menikah siang ini. Iya,
ini dia acara nya. Entah seberapa penting kah acara ini hingga aku diutus untuk
meliputnya. Dengan begini, aku bisa menjadi wartawan kontrak. Mungkin untuk
menaikkan pamor dan eksistensi nya di dunia media. I don’t know.
“Saya
keponakan nya Pak Tarko, mbak. Saya juga ketua pelaksana acara ini. Hanif,
Hanif Putranto Wijaya”, ucapnya sambil mengulurkan tangan
“Oke”,
aku
tak membalas uluran tangan nya.
Dan puncaknya, hati mau
tapi tak mau, aku mengambil gambar kedua mempelai yang sedang melaksanakan
rangkaian pernikahan versi adat Jawa. Dia, mas Yogi menatap ku. Tatapan mata yang tegas namun teduh, senyuman yang tajam tapi menengkan hati.
Tidak seharusnya aku mencampurkan urusan hati dengan pekerjaan. Langsung aku
memalingkan wajah dan berlalu agar tidak ketara.
Dirasa foto dan infonya
sudah cukup, aku hanya bisa mengucapkan “Happy Wedding, mas. Sakit hati ini
pantas aku terima yang tak tahu batasan. Mencintai seseorang yang lebih dari
batas dan kemampuan ku. Semoga wanita itu, yang kamu sebut istri sah, bisa
menjadikan mu manusia hebat”.