Hari ini, kak Satria sudah mulai kerja lagi. Dia bekerja
sebagai Art Director sebuah Production House (PH). Sebuah PH yang tidak terlalu
besar, namun selalu ada projek atau garapan film. Jadi, dia sering bolak-balik
Jakarta – Malang, atau lokasi syuting – Malang. Pernah suatu ketika aku pernah
mengomel dan berkata “kenapa gak tinggal di Jakarta aja? Daripada bolak-balik,
berat di ongkos dan waktu.” Dengan santainya kak Satria menjawab “Malang,
selalu punya kekuatan tersendiri jika ditinggalkan. Rasanya selalu pengen balik
lagi. Apalagi kalo aku kangen sama bicak ngeselin ini,” kak Satria mengusap
rambutku.
Hmm, paling bisa buat aku mati berdiri.
Aku ingin memberi kejutan untuk kak Satria. Aku pergi ke
apartmennya dan membuat janji dengan Fahri. Niatnya, aku memasakkan makan malam
untuknya.
Fahri, dengan senang hati mengiyakan niatku. Tapi dengan
catatan dia tidak bantuin masak dan dapur harus bersih ketika aku selesai. Wow,
daebak!! Kau disuruh kerja sendiri. Yah, tidak mengapalah.
Ketika berada di dapur, aku sudah membawa beberapa bahan
untuk dimasak.
Dapur apartmen ini tidak terlalu besar. Hanya ada kompor 2
tungku, tempat cuci piring dan sebuah pantry dengan 3 kursi panjang. Awalnya
hanya ada 2, namun kak Satria membeli 1 lagi. “Lolli sering kesini, jadi kita
beli satu lagi,” ucapnya kepada Fahri.
Peralatannya lengkap, untuk ukuran rumah yang ditinggali
cowok. Padahal, sepengetahuanku, kak Satria dan Fahri jarang sekali memasak
sendiri. Hanya jika modd mereka sedang bagus saja. Dasar, lelaki.
Malam ini, aku hanya memasak cumi goreng dan sup tahu. Agak
tidak nyambung memang, tetapi memang aku tidak mempunyai rekomendasi makanan
lain selain ini. Hanya ini yang terlintas di kepalaku.
Aku memasak hanya aku cukupkan dengan 3 porsi. Untungnya,
meski jarang memasak, kak Satria selalu memasak nasi sendiri. Suatu keuntungan
kecil.
3 piring aku letakkan di pantry. Plus panci sop dan sepiring
cumi goreng. Semua sudah siap. Aku bersemangat sekali.
“Hmm, enak nih baunya,” Fahri keluar dari kamar.
“Aku bisa masak kan? Hmm. Uda deh tinggal nunggu kak Satria
pulang.”
“Belum juga dicicipin. Ohia, sambil nunggu, tuh di lemari es
ada buah semangka, dibuat jus aja. Uda bosen kalo langsung di makan.”
“Lah? Kenapa gak kamu aja?”
“Males ah, mau war COC.”
Dasar nih bocah
Yah daripada nganggur, aku mengambil semangka dan start to
blend them.
Tak susah membuat jus ini, apalagi didukung dengan peralatan
dapur yang lumayan canggih ini. Haha.
Pukul 7 malem lebih sedikit, terdengar suara tekanan tombol
sandi pintu. Kak Satria masuk, segera aku menyeretnya ke meja pantry. Tanpa dia
sempat berkata.
“Wow, keliatannya enak nih. Mana Fahri? Yuk makan bareng.”
“Iya nih si Fahri gak mau bantu. Hmm.”
“Kasian.” Kak Satria langsung mengambil kursi dan memakan masakanku.
Cuma bilang kasian
doang? Sial. Hmm
Eh, kak Satria lahap
betul makannya, bagaimana pendapatnya yah?
“Kok bengong? Sini makan, ini masakanmu loh!” Kak Satria
berkta dengan mulut penuh dengan makanan.
Malam itu, kami habiskan dengan bercanda dan mengobrol.
Kak Satria cerita tentang kesehariannya di studio PH nya.
Dan menceritakan mengapa seminggu sebelum dia masuk Rumah Sakit dia menghilang
dan tidak mengabariku.
Fahri cerita tentang cewek-cewek yang pernah ia kencani.
Dasar playboy
Terkadang mereka berdua bicara soal cowok yang tidak aku
pahami. Aku hanya diam.
Terkadang, kak Satria peka terhadap hal ini dan mulai
membuka tema pembicaraan baru dengan menanyakan keseharianku, teman-temanku,
hobiku sampai pekerjaanku.
Dari percakapan malam ini, aku sadar sesuatu. Terkadang,
jarak itu dibutuhkan. Untuk sebuah hubungan, bahkan untuk hubungan tanpa status
ini.
No drama again.
**
Jarak memang tidak bisa menjadi alasan untuk tidak saling
berkomunikasi. Meski tidak intens dan sering, tak jarang setiap malam aku
selalu ber-video call dengan kak Satria. Itu kalo kak Satria tidak punya
kerjaan lembur atau dia sedang istirahat di tengah pekerjaannya.
Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila
tak ada jeda?
Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
BUkankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?
Dan saling menyanyang bila ada ruang?
Dee Lesatri – Jarak (1998)
#30daysWritingChallenge