Hari ini, aku duduk sendiri di depan Bandara Juanda
Surabaya, menunggu taksi or anything else yang datang menghampiri. Sudah 2 hari
aku berada di Bekasi, menghadiri pesta pernikahan sahabatku, Ami. Dia Nampak
bahagia, akupun larut di dalamnya. Seakan aku ikut bahagia, namun pada
kenyataannya? Haha, don’t ask too much. My life is complicated enough.
Keadaan cinta yang menggantung dan tanpa kejelasan yang
jelas, rasa cinta yang sudah terlanjur dalam kepada pria yang masih mengenang
masa lalu. Apalah daya, aku memang tidak sebanding dengan mantannya.
Setelah larut dalam pesta meriah selama sehari full, aku
memutuskan untuk kembali ke Malang. Tidak mugkin aku akan merusak pesta seumur
hidup sekalii itu. Aku tidak boleh menunjukkan raut dan perilaku yang
teridentifikasi sebagai emosi kesedihan, tidak, aku tidak boleh seperti itu.
Jalan satu-satunya adalah go back home.
Di tengah lamunanku, aku merasakan hangat di bagian tubuh
belakang. Aroma tubuhnya bercampur dengan parfum maskulinnya. Tak kalah
wanginya dengan aroma dari rambutnya. Kedua tangannya erat memeluk di bagian
perut. Aku tahu, dia harus usaha menunduk karena dia pria ang sangat tinggi.
Aku membalik badan, melepaskan tangannya, dan berbalik arah
untuk memeluknya.
Nyaman.
Untuk sementara, aku memang ingin sebuah pelukan. Melupakan
segala lara, meluapkan kerinduan, tanpa bepikir terlalu jauh, siapa yang aku
peluk sekarang.
Dia hebat, dia multitalent. Dia moodbreaker sekaligus
moodbooster. Dia pembunuh sekaligus penghidup. Dia yang menyakiti dan dia
sendiri yang menyembuhkan. So riddle!
“Kakak kok tau aku sedang disini?” aku bertanya, karena aku
menghilang sejak kejadian di Path minggu kemarin. Sejak kak Satria mengupload
foto (mesra) dengan mantannya.
“Kamu pergi tidak bilang. Kamu menghilang,” ucap kak Satria
tanpa melepas pelukannya.
“Aku sampai harus cari tau melalui path dan instagrammu.”
Aku mengingat, mungkin dia tahu saat di mengupload jadwal
penerbanganku di Path sewaktu aku di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta.
Mungkin kak Satria melihat itu dan langsung meluncur menuju Juanda.
“Oh, sorry.”
Saat itu masih siang, aku mengambil penerbangan paling pagi.
Angin berhembus dan udara hangat dari Surabaya mencoba memasuki relung hati.
“Lontong balap yuk?”
“Ingat perut, kak,” kataku sambil mengelus perut buncitnya.
“Tapi memang kamu belum makan kan?” Aku mengangguk
mengiyakan pertanyaan kak Satria. “Yauda, yuk.” Kak Satria membawakan tas
ranselku, aku mengikutinya dari belakang.
Tubuh 180cm ini tepat di depanku. Setiap langkahnya
menandakan jejaknya. Like a game. Aku mengikuti seluruh rangkaian acaranya.
Mulai dari harus selalu ada setiap dia butuh, tidak dekat dengan pria lain
walau dia hanya sebatas ‘teman’, dan bahkan aku harus mengalah pada keadaan.
Menghadapi kenyataan bahwa aku tidak lebih dari sebidak papan catur yang selalu
untuk permainan.
Apa aku sebuah permainan?
Tak banyak yang aku bicarakan dengan Kak Satria, hanya
sebatas cerita-cerita kecil selama aku berada di Mia’s wedding dan
kegiatan-kegiatan Kak Satria yang mulai memadat.
Selama perjalanan menuju kota kesayangan, kami berhenti di
salah satu rest area. Rest area ini tidak terlalu besar, namun tempat parkirnya
lumayan luas. Ada satu warung makan, musholla dan toilet dan kolam besar di
belakang warung, semacam waduk. Di tenagh wadukpun, terdapat pulau buatan
dengan pohon dan rindang.
Saat itu sudah menjelang Magrib, kami memutuskan untuk hanya
membeli beberapa roti dan cemilan, bekal selama perjalanan yang tinggal
setengah jalan.
Setelah istirahat dan sholat, kami meneruskan perjalanan.
Aku lebih memilih diam, lelah fisik, hati dan pikiran.
“Tumben diem? Capek kah?” tanya kak Satria dibalik
kemudinya.
“Apa sih perasaan kakak kepadaku?” Entah datang darimana,
pertanyaan itu meluncur bebas dari mulutku. Mungkin, hati ini sudah tidak
sanggup untuk menahan perasaan ini lagi.
“sudah 2 tahun kita bersama, apa pantas aku dan kakak
disebut kita? Aku dan kakak sudah sering menhabiskan waktu bersama, sudah
banyak tempat yang kita kunjungi berdua, sudah lebih dari puluhan film kita
tonton bersama, sering kali kakak memelukku dan berkata ‘don’t let go’…. Apaaa…
apa ini goal dari persahabatan? Jika iya, persahabatan macam mana yang kakak
maksud? Setahuku, ini bukan persahabatan…..,” aku mulai terbata-bata, ku coba
dengan segala usaha untuk menahan air mataku.
Kak Satria hanya terdiam.
Sedetik
Dua detik
“Mengapa tiba-tiba ngomong gitu?”
“Hanya saja, logika dan hatiku tidak seimbang. Aku suka
dengan romansa kita, kak. Tapi aku harus berlogika dengan dirimu yang masih
terjebak nostalgia.”
Cit…
Bunyi ban mobil tergesek aspal jalan.
Jika aku benar, mobil ini berada di jalan besar di daerah
Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan. Jalan besar penghubung antara Surabaya dan
Malang. Sekira pukul 7 malam.
Kak Satria menghela napas panjang.
“Maaf….”
Aku mulai melihat ekspresi wajahnya.
“Maaf, logika dan hatiku juga masih tidak stabil. Terkadang,
logikaku memilihmu yang jelas selalu berada di depanku. Namun, terkadang hati
ini ingin kembali ke yang dulu, tanpa harus memilikinya lagi. Karena tersadar,
dia sudah memilih yang lain….”
“Bodoh! Seseorang telah mencampakkanmu dan memilih pria lain,
namun tetap kakak harapkan? Apa kata yang lebih bodoh dari bodoh?”
“Lalu, coba aku tebak, kalian bertemu dalam satu ruangan
secara kebetulan, dan berfoto bersama?
Itu kan yang aku temukan di Path?” emosiku mulai meluap.
“Iya, Lolli. Kemarin aku datang ke acara pemutaran film
salah satu temanku. Ternyata, dia disana sebagai salah satu staff wardrobe. Aku
senang setelah 4 tahun ini, aku berjumpa dengannya, namun ada pria lain yang
menggandeng tangannya. Arrrrrgh….” Kak Satria memukul tangannya ke dashboard.
Aku diam, aku menangis, mungkin masih banyak kata yang ingin
kuucapkan, namun diambil alih oleh tetesan air mata ini.
“Lolli, sekarang kakak sadar. Mungkin selama ini, aku
menyakitimu secara tidak sadar. Dengan kejadian kemarin, aku akan menatap ke
depan, dan mungkin dengan bantuan dan tuntunanmu, kamu bisa angkat aku dari
masa lalu!”
“Kak, selama ini Lolli berusaha seperti itu. Namun kakak
selalu menoleh ke belakang. Lelah kak, lelah hati Lolli”
Say something I’m
giving up on you…
I’m sorry that I
couldn’t get to you…
“Plis, kakak mohon. Kita mulai dari awal…”, Kak Satria mulai
menggenggam tanganku..
“Sorry, kak. Aku butuh waktu untuk berfikir jernih…”
Kak Satria memajukan wajahnya, lebih dekat dengan wajahku.
Dia melepas Safety belt dan mulai lebih dekat lagi. Perlahan, bibir kak Satria
mendarat di bibirku. Hatiku berdebar, ingin sekali aku membalasnya, namun aku
kembali ke logikaku lagi. Aku hanya meneteskan air mata.
Dengan hati-hati, dia melepaskan bibirnya. Lalu dia mencium
keningku. “Oke, jangan kelamaan yah mikirnya.”
Aku mematung.
Seperti tidak ada kejadian apa-apa, kak Satria
mengantarkanku pulang malam itu. Dan tanpa sepatah katapun, aku berlalu. Hanya
ciuman tadi sebagai ucapan ‘sampai jumpa’.