Aku menghempaskan diri ke kasur.
Kasur ini – terutama kasurku – sungguh mempunyai
gravitasi tersendiri. Dibalut dengan sprei
bewarna merah muda, ada aroma khas yang keluar ketika aku menggesek
kepalaku di atas bantal. Mungkin bekas keringat, parfum, atau feromonku.
Ya, feromon setiap orang berbeda-beda. Aku sangat
menyukai bau khas tubuhku ini, dan tubuhnya…
Dia tak pernah memakai parfum yang berlebihan. Dia
juga bukan pria metroseksual. He’s just ordinary boy, who stole my heart.
Dengan cara berpakaian yang biasa. Polo, sepatu
adidas, jaket dan kacamata.
Tanpa pomade. Gaya rambutnya, mengikuti arah kemana
rambutnya jatuh. Tidak ada style seperti pemuda kekinian.
Dengan kumis dan jenggot tipis. Dia tak pernah marah
ketika aku menjailinya dengan mengusap lembut rambut kumisnya dan tiba-tiba aku
cabut.
Dengan sikap yang biasa. Tertawa jika ada yang lucu.
Mendengarkan jika aku berbicara. Ngobrol ketika memang dia ingin menyampaikan
apa yang ingin disampaikan.
Senyumnya tidak seseksi David Beckham atau Adam
Levine. Namun di balik senyum itu, ada keteduhan dan kenyaman. Damn, do I
describe every detail about him?
Aku membuka mata. Yang terlihat hanya langit kamarku
yang putih. Sudah berapa lama aku melamun memikirkan dia? Entahlah.
Aku melihat jam dinding berbentuk kucing tepat di
depan kasur. Pukul 2 siang. Aku mendesain seperti ini karena jika aku bangun
tidur, yang aku lihat hanya jam dan aku bisa dengan cepat menyadari jam berapa
sekarang.
Berganti, aku melirik laptop di atas meja, aku biarkan
dalam keadaan terbuka.Ada satu lampu LED bewarna putih yang berkedip-kedip.
Pertanda laptop sedang keadaan sleep.
Well, this is my fuckin holiday. Not productive.
Just lay in bed all day long.
Semua teman-teman kampus sudah pulang ke daerah asal
masing-masing. Mencumbu rindu dengan kampung halaman. Sedangkan aku, yang
kampung halamannya sekota dengan kampus, hanya bisa bermain sosial media
sepanjang aku membuka mata.
Actually, aku mencoba membuaat cerpen pagi tadi.
Entah mengapa, mungkin ini ketiga kalinya aku membiarkan laptopku tertidur
karena tak tersentuh. Sepertinya, ada sesuatu yang salah di dalam otakku.
Hatiku terasa ingin meangis, tanpa aku tahu pasti apa penyebabnya.
Aku meraih ponselku yang terselip di bawah bantal.
No notification. Yah mungkin teman-teman sedang quality time bersama sanak family. Dia? Yah, beberapa hari ini
tidak ada kabar dari dia. Tumben sekali memang dia tidak mengabariku. Kira-kira
dia sedang apa yah?
Ah, dasar bodoh. Emang aku ini siapanya? Punya hak
apa aku untuk mengetahui setiap kegiatannya?
Tanpa diperintah, mataku terasa perih dan sesuatu
telah keluar. Tak lama, mata dan pipi ini basah oleh serangan-serangan air yang
diketahui adalah air mata.
Ingat,
Loli. Kamu tidak boleh lemah.
Aku terus mencari kalimat-kalimat positif agar untuk
memotivasiku sendiri. Berhasil atau tidak, setidaknya aku sudah berusaha untuk
tetap tegar.
Aku wanita berhati. Ketika hati tersakiti, dia
mengirimkan pesan berupa “aku sakit” yang akan disampaikan ke otak. Otakpun
mulai menggunakan kekuasaannya untuk memerintahkan anak buah organ tubuh
lainnya. Seperti menyuruh mata untuk meneteskan serdadu-serdadu air mata, dan
mulut untuk terus berteriak.
“Tenang, hati. Meskipun engkau sakit, setidaknya kau
bekerja dengan baik. Lain kali jika kau selalu sakit, aku akan merespon
stimulus cinta., dan selamanya akan menjadi tugasku, not yours anymore”.
Begitula pesan feedback dari Otak untuk Hati.
Aku menenggelamkan wajah di bantal. Setidaknya agar
suara yang dihasilkan oleh tangisanku sedikit berkurang, Aku tidak mau Ibu
ataupun orang di rumah mendengar dan melihat air mataku bekerja dengan baik.
***
Hai,
kak Satria. Aku akan terus menunggu kabarmu… Jika memang kamu terlalu sibuk
untuk membalas chatku, aku tunggu nanti petang untuk kamu menelfonku, seperti kebiasaanmu,
setidaknya kebiasaanmu untuk sebulan yang lalu…
#30daysWritingChallenge