“Halo.
Assalamualaikum.”
Seketika, aku merasa
menjadi lilin kecil dengan sumbu besar yang berapi, cepat meleleh dan mencair.
Suarau itu, kurindukan sejak beberapa hari terakhir. Kali ini, suaranya
terdengar lelah dan sedikit serak.
“Halo, Dek. Halo.
Assalamualaikum.”
“Eng,, iya … Kak.
Walaikumsalam.”
“Dasar, Upil! Kamu
habis melamun yah? Kebiasaan deh kamu”
“Ya ampun, Kak Satria
nih datang-datang sukanya ngeledek!”
**
Begitulah awal
percakapanku di telepon dengan kak Satria, setelah dia seminggu menghilang. Walau hanya beberapa menit, itu
sudah lebih dari cukup untuk mengobati rindu menggelitik di dalam hati.
Satria Astra Ardhi.
Seseorang yang hampir
setahun ini menjadi tempatku menaruh segala sesuatu, setelah Tuhan dan Ibu.
Pria 23 tahun ini cukup pandai memasuki duniaku, yang dulu sempat aku tutup
rapat untuk semua pria. Dengan sifatnya yang khas dan kharismanya yang tidak
kutemukan di pria lain, akhirnya dinding pembatasku roboh juga. Pelan, namun
tidak tergesa, kak Satria sudah menjadi bagian dari setiap cerita yang ingin
aku bagikan.
When I see something
bizarre, he’s the first person I want to talk to about it (Before Jamaica Lane)
Dia tak banyak bicara,
namun dia orang yang hangat.
Dia selalu suka
mendengarkan ceritaku, terus tanpa letih. Jika aku tertangkap sedang diam
merenung ketika di dalam sebuah kafe berdua dengannya, dia selalu berkata “He
upil, jangan melamun. Ayo cerita!”
Aku sampai bingung
ketika kehabisan bahan untuk bercerita. Tak jarang juga dia berkata. “Ah dasar,
Upil! Kamu uda cerita masalah itu minggu kemaren” atau “Kamu uda pernah
membahas ini, Wil!”
Upil. Tuwil. Atau
terkadang kak Satria memanggilku Bawel. Demi apapun itu nama panggilan yang gak
enak banget untuk didengar. Tapi aku senang ketika kak Satria dengan air muka
yang tegang, tatapan penuh keyakinan dan arah pembicaraan yang terkesan serius.
Ini adalah ekspresi dimana dia akan memberiku an advice. Ketika sudah begini, nama panggilanku berubah jadi nduk. Jawa banget, namun terkesan
lembut, sopan dan lebih menghargai. “Kamu seharusnya gini, nduk. Bukan malah bla bla bla….”
**
Aku sedang berada di
jalan menuju apartment kak Satria di daerah Kota Batu. Hampir sejam perjalanan
dari rumahku di Malang. Apartment ini tidak terlalu mewah, namun setidaknya
cukup bagus untuk dijadikan tempat tinggal seorang bujang seperti kak Satria.
Jika naik ke atap, akan terlihat pemandangan desa sekitar. Kata kak Satria
dulu, dia memilih apartment ini karena dulu sedang ada promo sewa selama 2
tahun.
Aku memencet bel di
depan pintu 512. Sekali tidak ada respon.
Aku ketuk-ketuk pintu.
Tidak ada respon.
Tiba-tiba terdengar
suara orang sedang berjalan.
Itu pasti kak Satria.
Lagi, hatiku berdegup lebih
kencang seperti biasanya. Kak Satria membuka pintu.
Gubrak…
“Kak, kakak kenapa?
Kakak sakit?”. Aku berusaha menahan badannya yang ambruk tepat di depanku.
Aku menyentuh jidatnya.
Lumayan hangat. Mungkin demam. Lalu aku membopong kak Satria menuju parkiran
motorku. Jaketku, aku sampirkan ke pundaknya. Dengan sigap, otakku mulai
bekerja sebagai peta. Mencari lokasi praktek dokter terdekat. Kak Satria
seperti tak bertenaga untuk menghentikanku. Dia hanya bisa menahan tanganku
ketika aku hendak memegang setir.
“Kak, ini demi
kebaikanmu. Selagi aku bisa menolong kakak.”
Kak Satria hanya
menunduk. Dia duduk di jok belakang, dia terlihat lemas dan pucat. Tangannya
yang biasa untuk memainkan gitar terasa sangat dingin dan tak bertenaga. Dia
melingkarkan tangannya ke pinggangku. Kepalanya tetap tertunduk dan menyandar
di bahu sebelah kiriku. Aku berusaha menenangkan kak Saria, juga diriku
sendiri. Tangan kiriku juga sibuk mengenggam tangan kak Satria.
Aku tak tahu apakah ada
praktek dokter terdekat yang buka ketika menjelang magrib di Sabtu seperti ini.
**
Aku menemukan sebuah
klinik kecil tak jauh dari apartment kak Satria. Untunglah disana masih ada
suster jaga. Ku serahkan semua kepada Tuhan, semoga Kak Satria bai-baik saja.
Setelah mendapat
perawatan, aku memberanikan masuk di ruang pasien. Klinik itu tidak besar,
namun terlihat cukup rapi dan siaga untuk penangan pertama, seperti kejadian
sore ini.
“Hai, Kak. Get better?”
“Thanks, dear.” Kak
Satria tersenyum kecil. Walau ku tahu, dia masi merasakan sakit pada tubuhnya.
Dia masih terbaring dengan posisi kepala lebih tinggi dari badannya.
“Adek sholat magrib
dulu ya, kak?”
“Eh Upil, tunggu sebentar.” Aku membalikkan
badan.
“Iya, kak?"
“Sini sebentar deh,”
ujar kak Satria sambil membetulkan posisi duduknya.
Aku menghampiri kak
Satria dan duduk di sebelah ranjangnya.
Deg…
Kak Satria langsung memelukku.
Melingkarkan tangannya ke bagian belakang tubuhku. Menenggalamkan kepalnya ke
pundak kananku. Mataku terbelalak. Air liur yang melewati tenggorokanku terasa
tersendat.
Kedua tanganku ragu
untuk memabalas pelukannya. Perlahan, aku membalas pelukannya, lebih erat.
Irama jantung kita bernada sama, ketukan dan ritmanya menjadi instrument musik
favoritku saat ini.
“Ini pengobatan yang
aku butuhkan. Hangat. Cuma butuh 15 detik." Dia berbisik.
Aku merasakan suhu
tubuhnya masih tinggi. Derap nafasnya juga berlum terdengar teratur sempurna. “Kakak
cepat sembuh ya?”
“…”
Hening. Lalu kak Satria
melepaskan pelukan dan berkata. “Tolong panggilkan perawat laki-laki. Aku mau
tayamum”