Selamat pagi, Ibu
Bagaimana kabar Ibu?
Kuharap Ibu, Bapak dan sekeluarga baik-baik saja? Disini saya Cuma ingin
menuturkan beberapa ihwal, tentang kami, antara aku dan anak Ibu yang paling
tua.
Bu, bagaimana aku menjelaskan
awal pertemuanku dengan anak Ibu? Ini sungguh konyol dan lucu. Namun, mungkin
lewat jalan yang tidak berprediksi ini kami dipertemukan. Lewat suara angin
melewati sela-sela daun telinga, menyapu rambut anak Ibu, membuat jilbab ini
bertebangan tiada henti. Lewat sapaan “Hai”, membuatku menoleh pada sumber
suara, yang membuat aliran darah begitu deras menuju jantung.
Setelah cukup lama kami
intens bertemu dan bertukar pesan, saya menyadari satu hal, Bu. Mungkin
terlihat naif, tetapi saya tetap ingin mengutarakannya kepada Ibu. Saya mulai
menaruh rasa peduli, khawatir dan bahagia pada anak Ibu.
Namun, saya hanyalah
sepenggal kisah yang saat ini singgah di hati anak Ibu. Saya tahu diri siapa
saya sebenarnya. Posisi saya tidak bisa mengganti posisi gadis itu, yang telah
bertahun-tahun menjalin kasih dengan anak Ibu. Saya paham betul.
Gadis yang lalu
mempunyai senyum renyah, mata yang memancarkan keteduhan, tutur kata yang
lembut dan mempunyai pekerjaan yang sesuai seperti gadis-gadis pada umumnya.
Sedangkan saya hanya mempunyai senyum biasa, mata yang tajam melihat peristiwa
dan kejadian di area Kota, tutur kata yang selalu mengeluarkan pertanyaan
kritis dan pekerjaan yang mungkin tidak disukai para gadis.
Gadis yang lalu selalu
memakai high heels 5cm, rok span dan blazer untuk menemui klien dan
pasiennya. Gaya berjalannya anggun dan menyapa lirih dengan senyum kepada
orang-orang yang bertemu dengannya. Sedangkan saya selalu memakai sepatu
bertali, celana panjang dan terkadang memakai kaos dan jaket untuk menuju
tempat orang berdemo atau TKP tempat pembunuhan.
Inilah saya, Bu.
Seorang wartawan yang
telah jatuh hati pada anak Ibu.
Seperti ini saya
memandang hidup. Dari balik lensa, dari balik rekaman wawancara dan dari balik
pena yang menari bebas di atas buku kecil untuk menampilkan berita aktual.
Gadis yang lalu bisa
menggambar. Sungguh indah. Ibu pasti akan bertanya mengapa saya bisa tahu akan
hal itu? Saya tahu dari sosial media, Bu. Memalukan mengatakan hal ini, hehe
tetapi saya jujur. Gadis yang lalu selalu mengirimkan pesan gambar untuk anak
Ibu. Memvisualisasikan ke dalam coretan dan lengkungan membuat sebuah bentuk.
Sedangkan saya hanya bisa menulis. Entah sudah berapa artikel yang saya tulis.
Entah berapa puisi yang saya garap ketika merindukan anak Ibu, dan sudah berapa
kutipan-kutipan cinta yang saya temukan ketika bertukar pandangan hidup bersama
anak Ibu.
Inilah saya, Bu.
Seorang yang cinta
menulis telah terbawa suasana ke dalam hati anak Ibu.
Membuat berbait-bait
prosa, dengan atau tanpa sajak berima. Menampilkan sisi lain dari sebuah
kehidupan.
Saya dan anak Ibu
sesungguhya tidak terikat dalam komitmen “berpacaran”. Kami hanya teman dekat
yang sangat dekat. Anak Ibu dengan gadis masa lalu dan saya dengan pria masa
lalu, membuat kami seakan tidak percaya lagi dengan komitmen lagi. Kami tetap
menjaga perasaan yang dititipkan Tuhan, merawatnya hingga tidak luntur dan
mempertahankan sampai esok.
Meskipun seperti itu,
saya bahagia bisa berkenalan dengan Ibu sekeluarga
Bu, mungkin senyum
saya, tatapan saya, perilaku saya, keahlian saya, dan pekerjaan saya tidak
se-elegan gadis yang lalu. Saya mengakui itu. Jika dibandingkan menantu ideal,
oh Bu sungguh saya jauh dari kata itu.
Tetapi Bu, apa Ibu
lihat perjuangan saya untuk tetap bersama anak Ibu? Ketika anak Ibu sedang
terpuruk pekerjaan, hilang arah dan terlalu malas untuk melihat kehidupan, saya
selalu datang untuk menemuinya. Menanggalkan segala rutinitas, demi anak Ibu
yang butuh pelukan dan sandaran.
Ketika anak Ibu sedang
bahagia, senang dan tertarik akan satu hal, saya selalu ada bersamanya di
tengah jadwal memadat.
Saya tidak terbebani
jika harus mencari perizinan waktu untuk bertemu anak Ibu. Saya malah merasa
senang dan bahagia bisa mengorbankan keseimbangan hidup demi cinta. Apalagi
ketika melihat anak Ibu tersenyum puas.
Saya berhasil mendekati
anak Ibu yang kedua, alias si Adik. Saya berkomunikasi cukup intens, sekedar
“say hello” atau menanyakan kabar.
Saya juga berhasil
mengobrol dengan Bapak. Bertukar pikiran mengenai dunia luar, politik, sosial
dan bidang-bidang lain yang mungkin tidak dipahami oleh gadis lalu.
Inilah perjuangan saya.
Selama saya mampu dan dihargai oleh anak Ibu, saya akan tetap bertahan.
Bu, jika nanti saya dan
anak Ibu memang dipersatukan oleh Tuhan, semoga nanti Ibu bisa menerima saya
sebagai anggota baru keluarga Ibu dengan hati terbuka.
Jangan terima saya apa
adanya. Tegur saya jika saya salah. Marahi saya jika saya benar-benar membuat
Ibu kesal. Sayangi saya jika saya berbuat hal yang menyenangkan hati Ibu.
Jangan khawatir juga, Bu. Anak Ibu jatuh ke tangan yang tepat, mendarat di pundak yang nyaman, dan terbaring di pangkuan yang hangat. Setidaknya, meski saya adalah wartawan jalanan, namun saya tidak melupakan kodrat saya sebagai wanita, saya berusaha menjadi rumah ternyaman untuk kembali.
Cukup sekian cerita
saya kepada Ibu. Maaf jika saya hanya bisa bertukar pesan melalui surat.
Maklumi kegiatan saya. Semoga waktu Tuhan memberikan izin untuk saya bertemu
dengan Ibu.
Dari,
Aldikewn