Terduduk aku di sudut ruangan ini. Tak begitu besar,
hanya ada beberapa meja dengan tulisan angka sebagai penandanya. Benda-benda
vintage seperti vas bunga di setiap meja, hiasan pigura, dan jam dindingnya pun
seperti membawaku ke jaman 80an. Meski sebenarnya aku lahir di era 90an, tetapi
seperti itulah yang aku tahu dari internet.
Kali ini aku sendiri, partner yang biasa menemani ku
mengahbiskan senja dengan teh hangat sedang berada di luar jangkauan. Haha.
Kami tidak LDR, namun beginilah adanya kami, pasti sesuatu permasalahan.
Aku mengaduk-aduk cangkir kecil berisi lemon tea
yang sudah sedikit dingin. Asam, manis dan hangat pada awalnya. Seperti
kehidupan.
Aku menatap ke luar jendela. Kedai ini sungguh
menenangkan jika sore hari. Ada suatu sudut dengan jendela menghadap ke barat.
Membuat keadaan setiap sore begitu jingga. Semburat cahaya mentari sore
berusaha masuk melalui celah-celah kusen jendela kayu berukuran 1x1 meter ini.
Dengan tirai yang bewarna biru muda membuat keselarasan antara suasana senja
dengan kedai.
Inilah tempat favoritku dengan dia. Ah sudahlah,
kami sedang interopeksi diri masing-masing. Ego kami sama-sama kuat hingga
tiada yang mau mengalah. Tetapi, saat senddiri seperti ini, bayangan dia
tiba-tiba ada. Di hadapanku telah ada kursi kayu yang sedari dari kosong. Aku
membayangkan kenangan pertama kali kita untuk kencan, di kedai ini sambil
menikmati teh dan milkshake anggur kesukaannya.
Di tengah lamunanku, tiba-tiba datang seorang pemuda
di hadapanku. Menduduki kursi yang biasanya ditempati oleh dia. Kepalaku yang
sedari tadi menatap cangkir ikut penasaran, siapakah pemuda ini. Aromanya khas,
seperti pria maskulin lain. Sejenak aku pejamkan mata, seperti mengingat dan
mencari dokumen-dokumen kejadian dengan aroma parfum ini.
Astaga. Aku sadar, mata lebar ku bertambah lebar.
Dengan keadaan masih melotot, pemuda ini tersenyum sambil berkata “hai,
sendirian aja nih?”.
Lidahku kelu, mataku masih membuka lebar, hidungku
masih mencerna aroma parfumnya. Aku balas dengan senyuman kecil dan anggukan.
“dimana dia? apa kalian sedang tak enak hati satu sama lain?”
“Seperti itu, mas. Biasalah, mungkin kami berdua
butuh waktu untuk menangkan diri dulu.”
“Boleh aku menamanimu?”
Lagi, aku jawab dengan anggukan kecil. Aku tidak
tahu bagaimana ekspresi wajahku saat itu. Sedikit senang, sedikit geram, dan
sedikit ingin meledak. Semuanya sedikit, tak banyak.
Hampir 5 menit kita terdiam. Aku hanya memandangi
cangkir teh dan sesekali melihat ke jendela. Pemuda itu juga terdiam, namun
sedari tadi dia menatap ku. Sebenarnya aku risih namun entah mengapa aku tak
bisa mengutarakannya.
Mungkin terlalu malas untuk berbicara dengannya.
Mengingat masa lalu ku dan pemuda ini, yang tak ingin aku ulangi. Atau memang
aku berada dalam unmood yang enggan untuk bertemu seseorang.
“Kami sudah putus,” ujar pemuda itu.
“Lantas?”, jawabku jutek.
“Yeah I know. Apa kamu tidak bisa menuruti jejak ku?
Agar kita bisa seperti dulu lagi?”
Oh God ! Lelucon macam apa lagi ini? Apa orang ini
berkata dengan keadaan sadar? Apa memang tidak tahu bahwa aku sangat mencintai
seseorang disana, walau memang kami sedang dalam fase tidak enak hati.
Pemuda itu lalu melepaskan jaket jeansnya. Terlihat
dia memakai jersey Chelsea favoritnya. Tak lama dia mengambil iPhone dan
menunjukkan sebuah gambar.
“Ini foto kita bersama Lollipop Kue jahe pemberianmu
sewaktu di bandara dulu. Aku masih menyimpannya. Rasa permen itu asam, mais,
dan sedikit menghangatkan. Seperti kehidupan.”
“Mas, tolong…”
“Aku tahu, dulu aku salah tidak bisa memilih antara
kalian. Aku rindu kamu. Aku ingin kita bersama seperti dulu lagi. You know that
my love is free now.”
“But I’m not”
“Hell yeah. That guy is very lucky. Kali ini aku
datang tulus. Aku tak pernah segila ini sebelumnya. Please, gimme a second
chance”
“Sorry, dear. Honestly, I wanted we together, but in
that time, you have the other girl. So what should I do except go away? And
know, I’ve moved on. I was found by the guy who can save me. Don’t you know?
Aku tidak membencimu, namun aku mencintai kenangan kita. Aku simpan rapat and
no one know it.”
“So, it means that you choose your boyfriend now?”
“Yes, I do. Because I hold something that can be
held.”
Aku pergi tanpa melihat dia yang masih duduk. Aku
tak dapat membendung air mata. Bagaimana bisa aku tidak menangis, seseorang
yang dulu ku cintai kini kembali dan menyatakan cinta? Namun apa daya, aku
telah milik orang lain.
Cinta datang terlambat? Oh no, don’t blame the love.
Yang salah hanya ego dan nafsu. Hal yang manusiawi
NB : Hai mas lollipop kue jahe. Bukan manusia jika aku tak merindukanmu, tidak munafik, tetapi aku menjaga rumah baruku yang baru saja aku bangun. Maaf jika aku lebih memilih jalan ini. Semoga engkau bahagia dengan pencarianmu.
Ketahuilah bahwa
cinta yang dulu pergi namun sekarang datang kembali, rasanya akan tidak sama.
Ada sesuatu yang berbeda.
Lollipop Girl