Hai, kamu.
Iya, kamu mas Adi
Sudah lama
kita gak bertemu? Oh iya, maaf. Kamu selalu gak punya waktu barang sejam duajam
saja.
Apa kabar? Aku
disini baik-baik saja. Pasti kamu disana lagi sibuk mengurusi segala kegiatan
dan organisasimu. Sampai keadan perut dan hati pun, kamu abaikan.
Mas, aku
sekarang uda bertambah satu tahun, menurut perhitungan orang-orang pada
umumnya. Tapi aku gak tahu lagi, berapa sisa umurku untuk menuju pangkuan-Nya.
Hari ini, aku
bahagia sekali mas. Tahun ini aku hampir mendapat semua kebahagiaan. Dapat
ucapan dan doa dari banyak teman-teman dan keluarga. Aku juga sudah
berterimakasih kepada Ibu yang uda melahirkanku 19 tahun yang lalu. Sama Yayah
juga, yang mendidik dan mengajariku menjadi wanita kuat seperti sekarang ini.
Iya mas, I’m stronger than I’ve been before.
Aku tadi
telah mengatakan bahwa ‘hampir’ mendapatkan kebahagiaan. Kamu tahu gak, mas?
Kenapa aku bilang hampir? Karena semua orang, yang aku kenal, mengucapan doa
dan harapan untuk tahun ini. Tapi kamu, mas Adi Nur Ikhsan? Kamu kemana? Apa
kamu lupa? Apa kamu terlalu sibuk dengan dunia mu?
Sudah
sekitar sebulan, kita gak saling menukar kabar dan perasaan. Mas Adi, kamu
sekarang dimana? Lagi apa? Aku pun tak tahu. Aku selalu mencoba tegar dan sabar
menunggu telpon, pesan atau apapun kabar dari mu. Tapi hasilnya setiap hari
adalah kekosongan. Sampai akhirnya aku membulatkan tekad untuk menghubungi mu
lebih dulu. Aku mencoba menekan nomor telepon mu dan mengucapkan salam, dan apa
yang terjadi? Kamu bilang sibuk, banyak kerjaan.
Aku rindu
suara kamu, mas.
Aku hanya
butuh 5 menit mendengar suara mu untuk aku simpan selama 5 minggu. Kamu
langsung menutup telpon tanpa ada nada sayang. Aku ingin setidaknya kamu
mengucapkan sesuatu yang berharga di hari-ku yang paling bahagia ini, mas. Ini
hanya setahun sekali untuk aku merasakannya, belum tentu tahun depan aku bisa
merasakan hal ini.
Sesungguhnya,
kado terindah buat ku adalah waktu mu, mas Adi. Karena waktu yang kamu berikan
adalah sebagian hidup kamu yang tak bisa diambil lagi.
Namun, semakin
kesini, aku semakin paham, mas. Kalau aku hanya penganggu di kehidupan karir
mu. Kamu lebih bebas tanpa aku yang cerewet mengingatkan kamu makan, sholat dan
istirahat yang cukup. Jika memang aku seperti itu, mohon maafkanlah. Tulus, aku
melakukan nya juga demi kebaikan diri kamu sendiri.
Hari ini,
aku mendapati sebuah Lollipop yang tempo hari pernah kamu berikan kepada ku.
Ini lebih manis daripada sekuntum mawar merah atau sekotak coklat. Kamu memang
tahu betul apa yang aku suka, untuk waktu dulu. Kamu memang tahu cara membuat
aku bahagia, untuk waktu yang dulu.
Lollipop nya
sekarang sudah tidak seenak dulu, sudah dimakan semut karena memang Lollipop
nya sudah usang. Tak pernah dilihat, tak pernah disentuh dan tak pernah
dirasakan. Ibarat lollipop ini, mas, hati ku juga sudah usang, sudah tidak
berkilau seperti pertama kamu melihat dan menyentuhnya. Jikalau hati ku ini
manis se manis lollipop itu, mungkin juga sudah dimakan semut, secara perlahan.
Kali ini aku
tegas, mas. Aku mengatakan, walau dengan berat, dengan tulisan ini, aku
menginginkan mas Adi sudah tidak perlu menghubungi ku lagi, sudah tidak perlu
mencemaskan aku lagi. Sekarang, aku sudah banyak yang menjaga, banyak yang
mencemaskan aku. Sekarang, aku banyak teman yang sayang dan peduli melebihi
kamu, mas.
Aku ‘hampir’
bahagia, mas. Semoga kamu ‘utuh’ bahagia, dengan dunia mu :)
The destroyer your dream,
Lollipop Girl