Pasti, banyak sekali novel roman, puisi, narasi,
cerita, ataupun tulisan tentang hujan. Ya, hujan memang membawa kesan dan pesan
tersendiri. Bagi pemegang rindu, bagi pemilik kenangan, atau bagi semua yang
sedang di mabuk kasmaran.
Aku, juga punya suatu ingatan terhadap hujan.
Tentang dia, yang aku suka, yang aku kagumi, yang aku sebut dalam setiap sujud,
dia makhluk yang bisa membuat aku berlama-lama di atas sajadah karena aku
sedang menceritakannya kepada Tuhanku. Dia. Si pria jakung. Sudah satu setengah
tahun aku mengenalnya. Banyak kejadian setiap harinya yang aku lalui
bersamanya.
Hujan memang zat yang hebat. Selalu bisa
membangkitkan kenangan pahit dan manis. Berbicara soal kenangan hujan bersama
dia, aku ingin menceritakan beberapa kisah hujan bersama dia. Mungkin jika aku
ceritakan, memakan waktu berhari-hari dan beberapa chapter untuk tulisan. Jadi
mungkin aku akan menyingkatnya.
Saat itu Maret 2015, Kota Malang masih dirundung
hujan. Aku berdiri di depan teras Balai Kota. Di luar hujan. Aku dan beberapa
teman ku yang telah melaksanakan acara di halaman depan tengah berteduh. Jam
menunjukkan pukul 22.00 WIB. “Pulang
bareng siapa nih? Hujan, udah malem lagi. Gak ada angkot pasti”, ujarku
dalam hati. Terbesit untuk menghubungi Pria Jakung, namun ku urungkan. “Kasian dia masa hujan-hujan aku suruh
kesini cuma buat jemput. Apalagi dia bilang kalo lagi ga enak badan”.
Sambil beres-beres barang, aku mengecek ponsel dan
melihat ada pesan “Kamu dimana? Aku sudah
di depan Balaikota”. Tanpa aku balas, aku langsung berlari ke depan. Pria
Jakung dengan jas hujannnya menungguku di pos jaga.
“Ngapain kesini?”, tanyaku.
“Ketemu kamulah”.
“Kan kamu lagi flu”
“Aku kemarin janji akan lihat acaramu, ya aku
tepati. Walau sedikit telat”.
“…”
“Langsung pulang?”
“Iya lah, uda malem. Bentar, aku ambil tas”.
Karena dia jakung dan aku kecil, aku bersembunyi di
balik jas hujannya. Sepanjang perjalanan menuju rumahku, aku hanya diam dan
memeluknya erat dari belakang. Ada perasaan senang, sedih, dan kasian. Senang
karena dia datang menepati janji, kasihan karena dia sedang flu, dan sedih jika
sakitnya lebih parah daripada aku. Semua perasaan itu semakin membuatku
mengencangkan pelukan.
“Mianhae…” (Maaf dalam Bahasa Korea)
“Buat apa?”, dia balik tanya.
“Malam ini”.
Dia tidak menjawab, hanya mengusap tanganku dengan
tangan kirinya yang basah terkena air hujan. “Aku akan mengingat hari ini. Tidak akan mudah menemukan orang seperti
dia. Aku akan jaga baik-baik”, ucapku dalam hati.
Namun, tidak semua hujan mendatangkan kenangan baik.
Terkadang juga kenangan yang sedikit tidak menyenangkan. Jadi saat itu hujan
berhasil menggagalkan rencana kencan kita. Bukan kencan, lebih tepatnya adalah
liputan bareng. Aku pewarta tulisnya, dia pewarta fotonya.
“Jadi ga?”, tanyanya via WA.
“Jadi. Ini masih praktikum. Jemput di lab ya?”
“Iya. Ini aku habis latihan band”.
Belum sempat aku membalas, hujan datang terlalu
cepat dari jadwal biasanya.
“Hujan”.
“Ya sudah pending dulu”.
“Anak ini kok ga
peka sih kalo aku rindu. Pake jas hujan kan bisa. Duh. Pakai acara hujan lagi.
Biasanya datangnya kan sore. Kenapa masih siang udah datang sih hujannya”
Kira-kira begitu ketika mengumpat kepada hujan
***
Suatu hari ketika mengobrol ringan deangan teman.
“Ceritakan sosok pria jakungmu”, dia berkata.
“Dia seperti hujan yang turun ke bumi pada sore hari”.
Temanku terdiam. Menunggu penjelasanku selanjutnya.
“Dia seperti hujan yang turun ke bumi pada sore
hari. Dia membuatku tidak bisa menikmati senja. Namun hujan itu bisa membuatku
menikmati hal lain yang tak kalah indah, yaitu Pelangi”.
“Apa dia sering membuatmu kesal?”
“Ya. Sangat menyebalkan. Tapi dia juga punya
caranya sendiri untuk mengembalikan senyumku. Dengan Pelanginya. Hmm”